Pengertian
Cerita pendek atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan short
story, merupakan satu karya sastra yang sering kita jumpai di berbagai media
massa. Namun demikian apa sebenarnya dan bagaimana ciri-ciri cerita pendek itu,
banyak yang masih memahaminya.
Cerita pendek apabila diuraikan menurut kata yang
membentuknya berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut :
cerita artinya tuturan yang membentang bagaimana terjadinya suatu hal,
sedangkan pendek berarti kisah pendek (kurang dari 10.000 kata) yang memberikan
kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam situasi
atau suatu ketika ( 1988 : 165 ).
Menurut Susanto dalam Tarigan (1984 : 176), cerita pendek
adalah cerita yang panjangnya sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman
kuarto spasi rangkap yang terpusat dan lengkap pada dirinya sendiri.
Sementara itu, Sumardjo dan Saini (1997 : 37) mengatakan
bahwa cerita pendek adalah cerita atau parasi (bukan analisis argumentatif)
yang fiktif (tidak benar-benar terjadi tetapi dapat terjadi dimana saja dan
kapan saja, serta relatif pendek).
Dari beberapa pendapat di atas penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan cerita pendek adalah karangan nasihat yang bersifat fiktif yang menceritakan suatu peristiwa dalam kehidupan pelakunya relatif singkat tetapi padat.
Dari beberapa pendapat di atas penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan cerita pendek adalah karangan nasihat yang bersifat fiktif yang menceritakan suatu peristiwa dalam kehidupan pelakunya relatif singkat tetapi padat.
Ciri-ciri Cerita Pendek
Di atas penulis kemukakan bahwa masih banyak orang belum
mengetahui ciri-ciri sebuah cerita pendek. Mengenai hal tersebut, di bawah ini
penulis kemukakan ciri-ciri cerita pendek menurut pendapat Sumarjo dan Saini
(1997 : 36) sebagai berikut.
Ceritanya pendek ;
Ceritanya pendek ;
- Bersifat rekaan (fiction) ;
- Bersifat naratif ; dan
- Memiliki kesan tunggal.
Pendapat lain mengenai ciri-ciri cerita pendek di kemukakan
pula oleh Lubis dalam Tarigan (1985 : 177) sebagai berikut.
- Cerita Pendek harus mengandung interprestasi pengarang tentang konsepsinya mengenai kehidupan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
- Dalam sebuah cerita pendek sebuah insiden yang terutama menguasai jalan cerita.
- Cerita pendek harus mempunyai seorang yang menjadi pelaku atau tokoh utama.
- Cerita pendek harus satu efek atau kesan yang menarik.
Menurut Morris dalam Tarigan (1985 : 177), ciri-ciri cerita
pendek adalah sebagai berikut.
- Ciri-ciri utama cerita pendek adalah singkat, padu, dan intensif (brevity, unity, and intensity).
- Unsur-unsur cerita pendek adalah adegan, toko, dan gerak (scena, character, and action).
- Bahasa cerita pendek harus tajam, sugestif, dan menarik perhatian (incicive, suggestive, and alert).
Cinta Seperti Buku Cerita
Orang-orang sering kali membicarakan keinginan mereka untuk
jatuh cinta seperti di buku cerita - dan dalam hati aku tertawa. waktu aku
masih kecil dan membaca dongeng atau menonton film-film tentang pangeran
tampan, aku membayangkan jatuh cinta seperti itu. Keluargaku meyakinkan aku
bahwa hal itu tak pernah terjadi dalam kehidupan sesungguhnya. Orangtuaku tidak
ingin harapanku terlalu tinggi terhadap sesuatu yang mereka percaya bakal tak
terjadi. Satu hal yang telah aku pelajari sepanjang waktu adalah bahwa orang
tua tidak selalu benar.
Waktu aku duduk di kelas tujuh, aku pergi bermain ski
bersama keluargaku pada liburan musim dingin. Di hotel aku ketemu cowok bernama
Anthony. Kami bersama-sama hanya dua hari, tapi kami tidak terpisahkan. Kami
menikmati kebersamaan kami dan kami punya banyak sekali kesamaan. Ketika tiba
waktunya pulang, hatiku benar- benar hancur. Aku tahu kami bisa memiliki
sesuatu yang istimewa jika diberi kesempatan; ada perasaan khusus di antara
kami. Namun rumah Anthony dan rumahku jaraknya enam jam perjalanan, dan kami
terlalu muda untuk bisa menyetir.
kami bertukar alamat, dan berjanji untuk terus berhubungan
meskipun rasanya tidak mungkin kami akan pernah bertemu lagi.
Keluarga dan teman-temanku menyebutku tidak dewasa karena
mengatakan aku kangen pada Anthony. Waktu aku senang sekali karena menerima
surat darinya, mereka tertawa dan berkata padaku itu tak ada gunanya. Tak
seorangpun mengerti bagaimana perasaanku. Aku tahu aku masih sangat belia, tapi
aku tidak percaya ada batas umur untuk jatuh cinta. Suatu perasaan mengisi
hatiku setiap kali aku memikirkan Anthoby. Orang tuaku mengatakan ini konyol,
perasaan tergila-gila yang akan lenyap dengan sendirinya, namun mereka keliru.
Aku tidak percaya kata "tidak mungkin". Apapun
bisa terjadi bila kau benar-benar menginginkannya. Selama bertahun-tahun, aku
dan Anthony bersurat-suratan. Kami saling menelepon. Bersamaan dengan semakin
bertambahnya usia kami, aku ladang-kadang berpikir aku takkan bertemu dengannya
lagi. Surat-surat kami semakin jarang, dan kini teleponnya hanya datang sekali
dalam beberapa bulan. Aku tak pernah memberi tahu Anthony bagaimana perasaanku
kepadanya, karena semua orang selalu mencoba mengenyahkannya dengan mengatakan
itu sama sekali takkan ada hasilnya.
Sekarang aku sudah duduk di kelas sebelas. Sudah empat tahun
berlalu sejak aku pertama kali bertemu Anthony. kami nyaris mengetahui segala
sesuatu tentang yang lain, dan, walaupun sudah bertahun-tahun tidak bertemu,
perasaanku masih tetap sama. Satu-satunya perbedaan adalah aku kini sudah lebih
dewasa dan lebih matang, dan aku bisa bertindak menuruti perasaanku.
Aku menerima sepucuk surat dari Anthony beberapa minggu
lalu. Pada lembaran terakhir ia menulis,
Lori, kita sudah saling mengenal untuk waktu yang lama
sekali. Aku tahu sudah bertahun-tahun aku tidak bertemu denganmu, dan mungkin
ini kedengarannya tidak masuk akal, tetapi aku jatuh cinta kepadamu. Sejak kita
bertemu tak satu haripun aku tidak memikirkan dirimu. Kau mengenalku lebih baik
daripada aku mengenal diriku sendiri, dan aku harus bertemu denganmu lagi
sebelum aku masuk college. Aku bisa membayangkan menghabiskan sisa hidupku
bersamamu suatu hari nanti. Kedengarannya mungkin sinting, tetapi kaulah
satu-satunya cewek yang bisa kubayangkan akan kuajak untuk membangun keluarga
nantinya. Aku ingin kau datang ke pesta dansa sekolahku, dan aku ingin kau
menginap selama akhir pekan supaya kau bisa menghadiri wisudaku. Ini adalah dua
hari terpenting dalam kehidupan remajaku, dan aku ingin kau melewatkannya
bersamaku.
Ini adalah kata-kata paling tulus yang pernah dikatakan
seseorang kepadaku. Begitu banyak perasaan melintas dalam benakku. Bahkan
ketika aku masih gadis kecil di kelas tujuh pun, aku sudah tahu perasaan bahwa
aku dan Anthony saling memiliki akan tetap hidup dalam hatiku hari ini. Mungkin
suatu hari nanti aku dan Anthony akan menikah. Atau mungkin kami hanya akan
terus manjadi teman pena samopai kami tua nanti. Atau mungkin kami tidak akan
berhubungan lagi dan hanya tinggal dalam kenangan. Yang kutahu hanyalah bahwa
diriku telah diberi kehormatan untuk merasakan cinta seperti dibuku cerita, dan
aku tidak akan pernah berhenti percaya pada takdir.
Kabut Ibu
Dari kamar ibu yang tertutup melata kabut. Kabut itu
berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu,
dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan.
Awalnya, orang-orang mengira bahwa rumah kami tengah sesak
dilalap api. Tapi kian waktu mereka kian bosan membicarakannya, karena mereka
tak pernah melihat api sepercik pun menjilati rumah kami. Yang mereka lihat
hanya asap tebal yang bergulung-gulung. Kabut. Pada akhirnya, mereka hanya akan
saling berbisik, ”Begitulah rumah pengikut setan, rumah tanpa Tuhan, rumah itu
pasti sudah dikutuk.”
***
Peristiwa itu terjadi berpuluh tahun silam, pada Oktober
1965 yang begitu merah. Seperti warna bendera bergambar senjata yang merebak
dan dikibarkan sembunyi-sembunyi. Ketika itu, aku masih sepuluh tahun. Ayah
meminta ibu dan aku untuk tetap tenang di kamar belakang. Ibu terus mendekapku
ketika itu. Sayup-sayup, di ruang depan ayah tengah berbincang dengan beberapa
orang. Entah apa yang mereka perbincangkan, tetapi sepertinya mereka serius
sekali. Desing golok yang disarungkan pun terdengar tajam. Bahkan beberapa kali
mereka meneriakkan nama Tuhan.
Beberapa saat kemudian ayah mendatangi kami yang tengah
gemetaran di kamar belakang. Ayah meminta kami untuk segera pergi lewat pintu
belakang. Ayah meminta kami untuk pergi ke rumah abah (bapak dari ayah) yang
terletak di kota kecamatan, yang jaraknya tidak terlampau jauh.
Masih lekat dalam kepalaku, malam itu ibu menuntunku
terburu-buru melewati jalan pematang yang licin. Cahaya bulan yang redup malam
itu cukup menjadi lentera kami dari laknatnya malam. Beberapa kali aku
terpeleset, kakiku menancap dalam kubang lumpur sawah yang becek dan dingin,
hingga ibu terpaksa menggendongku. Sesampainya di rumah abah, ibu mengetuk
pintu terburu-buru dan melemparkan diri di tikar rami. Napasnya tersengal-sengal,
keringatnya bercucuran. Abah mengambilkan segelas air putih untuk ibu, sebelum
mengajakku tidur di kamarnya.
Malam itu, abah menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di
sebelahku. Sementara, di luar riuh oleh teriakan-teriakan, suara kentungan,
juga desing senjata api sesekali. Abah menyuruhku untuk segera memejamkan mata.
Subuh paginya, ketika suara azan terdengar bergetar, abah
memanggil-manggil nama ibu sambil menelanjangi seluruh bilik. Abah panik karena
ibu sudah tidak ada lagi di kamarnya.
Selepas duha, abah mengantarku pulang dengan kereta untanya.
Ibumu pasti sudah pulang duluan, begitu kata abah.
Sesampainya di depan rumah, tiba-tiba abah menutup kedua
mataku dengan telapak tangannya yang bau tembakau. Dari sela-sela jari abah aku
bisa menilik kaca jendela dan pintu yang hancur berantakan, terdapat bercak
merah di antara dinding dan teras. Warna merah yang teramat pekat, seperti
darah yang mengering. Buru-buru abah memutar haluan, membawaku pulang kembali
ke rumahnya. Dari kejauhan aku melihat lalu lalang orang di depan rumah kami
yang kian mengecil dalam pandanganku. Orang-orang itu tampak terlunta-lunta
mengangkat karung keranda.
”Mengapa kita tak jadi pulang, Bah?” tanyaku.
”Rumahmu masih kotor, biar dibersihkan dulu.” Abah tersengal-sengal
mengayuh kereta untanya.
”Kotor kenapa, Bah?”
Abah terdiam beberapa jenak, ”Ya kotor, mungkin semalam
banjir.”
”Banjir? Kan semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa?”
”Ya banjir.”
”Banjir darah ya, Bah, kok warnanya merah.”
”Hus!”
***
Berselang jam, pada hari yang sama, abah memintaku untuk
tinggal sebentar di rumah. Aku tak boleh membuka pintu ataupun keluar rumah
sebelum abah datang.
”Jangan ke mana-mana, abah mau bantu-bantu membersihkan
rumahmu dulu, sekalian jemput ibumu.”
Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana, tapi hawa
mencekam itu sampai kini masih membekas. Selagi abah pergi, aku hanya bisa
mengintip keadaan di luar dari celah-celah dinding papan. Di luar sepi sekali.
Sangat sepi. Kampung ini seperti kampung mati. Lama sekali abah tak kunjung
datang. Jauh selepas ashar, baru kudengar decit rem kereta untanya di depan
rumah. Aku mengempaskan napas lega. Menyongsong abah.
Abah tertatih merangkul ibu. Ibu hanya terdiam lunglai
seperti boneka. Matanya kosong tanpa kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak
karuan. Guritan matanya lebam menghitam.
Ketika kutanya abah ada apa dengan ibu, abah hanya menjawab
singkat, bahwa ibu sedang sakit. Lalu aku bertanya lagi kepada abah, ayah mana?
Dan abah tidak menjawab. Namun, beberapa waktu kemudian, dengan sangat
perlahan, abah mulai menjelaskan bahwa hidup dan mati adalah dua hal yang tak
bisa dipisahkan. Laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya akan didatangi
kematian—lantaran mereka pernah hidup. Maka serta-merta aku paham dengan warna
merah yang menggenang di teras rumah tadi pagi. Saat itu aku tak bisa menangis.
Namun, dadaku sesak menahan ngeri.
***
Semenjak hari yang merah itulah ibu tak pernah sudi keluar
kamar, apalagi keluar rumah. Ketika ibu kami paksa untuk menghirup udara luar,
ia akan menjerit dan meronta tak karuan. Pada akhirnya, aku dan abah hanya bisa
pasrah. Tampaknya ada sesuatu yang rusak dalam kepala ibu. Ada sesuatu yang
hilang dari dirinya. Ibu seperti sudah tak peduli lagi pada dunia. Sepanjang
hari pekerjaannya hanya diam, sesekali menggedor-gedor meja dan lemari,
menghantam-hantamkan bantal ke dinding dan terdiam lagi.
Ibu memang benar-benar sakit. Makan dan minum harus kami
yang mengantarkan ke kamarnya. Mandi pun harus kami yang menuntunnya. Berganti
pakaian, menyisir rambut, melipat selimut, semua aku dan abah yang
melakukannya. Hanya satu hal yang kami tidak mengerti: kamar ibu selalu
berkabut.
Lelah sudah kami mengusir kabut-kabut itu dari sana. Kabut
yang selalu muncul tiba-tiba. Kabut yang selalu mengepul, setelah kami menutup
kembali pintu dan jendela, mengepul lagi dan lagi. Setelah kami tilik dengan
saksama, baru kami menyadari sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari mata ibu.
Sejauh ingatanku, ibu tak pernah menitiskan air mata. Namun dari matanya selalu
mengepul kabut tebal yang tak pernah kami pahami muasalnya. Mungkinkah kabut
itu berasal dari air mata yang menguap lantaran tertahan bertahun-tahun
lamanya. Entahlah.
***
Pada akhirnya, bagi kami, kabut ibu menjadi hal yang biasa.
Kami hanya butuh membuka pintu dan jendela lebar-lebar untuk memecah kabut itu.
Namun begitulah, semenjak kami menyadari keberadaan kabut itu, ibu tak lagi
sudi membukakan pintu kamarnya untuk kami. Makanan dan minuman kami selipkan
melewati jendela kaca luar. Namun sepertinya ia tak lagi peduli dengan makanan.
Beberapa kali kami menemukan makanan yang kami selipkan membusuk di tempat yang
sama. Tak tersentuh sama sekali. Ketika kami memanggil-manggil nama ibu, tak
ada sahutan sama sekali dari dalam, kecuali kepulan kabut yang memudar dan
pecah di depan mata kami.
Sementara, kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang
terus mengental. Kami tak bisa melihat jelas ke dalamnya. Hingga suatu ketika,
aku dan abah berinisiatif untuk mendobrak pintu kamar ibu. Kami benar-benar berniat
melakukan itu. Kami benar-benar khawatir dengan keadaan ibu. Linggis dan
congkel kami siapkan. Beberapa kali kami melemparkan hantaman. Pintu itu
bergeming. Kami terus menghantamnya, mencongkelnya, mendobraknya, hingga pintu
itu benar-benar rebah berdebam di tanah.
Aku dan abah mengibaskan kabut itu pelan-pelan. Membuka
jendela lebar-lebar. Perlahan kami mendapati kabut itu memudar dan pecah.
Beberapa saat kemudian kabut itu benar-benar lenyap. Namun kamar ibu menjadi
sangat senyap. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada ranjang yang membatu,
juga bantal selimut yang tertata rapi. Kami tidak melihat ibu di sana. Aneh,
kami juga tidak melihat ibu berkelebat atau berlari keluar kamar. Yang kami
saksikan dalam bilik itu hanya kabut yang kian menipis dan hilang.
Kami masih belum yakin ibu hilang. Berhari-hari kami mencari
ibu sampai ke kantor kecamatan. Kami juga menyebarkan berita kehilangan sampai
kantor polisi. Waktu melaju, berbilang pekan dan bulan, tapi ibu tak juga kami
temukan. Hingga keganjilan itu muncul dari kamar ibu. Kabut itu. Kabut itu
masih terus mengepul dari kamar ibu, entah dari mana muasalnya. Lambat laun
kami berani menyimpulkan bahwa ibu tidak benar-benar hilang. Ibu masih ada di
rumah ini, di kamarnya. Kabut itu, kabut itu buktinya. Kabut itu adalah kabut
ibu. Kabut yang tak pernah ada kikisnya.
***
Akhirnya, aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat
kamar ibu. Membiarkan kabut itu terus melata. Berjelanak dari celah bawah
pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga
merebak ke teras depan. Kami tak perlu lagi memedulikan ocehan orang-orang yang
mengatakan bahwa rumah kami adalah rumah setan, rumah tak bertuhan, rumah yang
menanggung kutukan. Karena, kami yakin, tak lama lagi, kabut itu pun akan
menelan rumah kami, sebagaimana ia menelan ibu.
0 komentar:
Posting Komentar