Sabtu, 28 Juli 2012

Cerita Pendek


Pengertian  
Cerita pendek atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan short story, merupakan satu karya sastra yang sering kita jumpai di berbagai media massa. Namun demikian apa sebenarnya dan bagaimana ciri-ciri cerita pendek itu, banyak yang masih memahaminya.
Cerita pendek apabila diuraikan menurut kata yang membentuknya berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut : cerita artinya tuturan yang membentang bagaimana terjadinya suatu hal, sedangkan pendek berarti kisah pendek (kurang dari 10.000 kata) yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam situasi atau suatu ketika ( 1988 : 165 ).
Menurut Susanto dalam Tarigan (1984 : 176), cerita pendek adalah cerita yang panjangnya sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi rangkap yang terpusat dan lengkap pada dirinya sendiri.
Sementara itu, Sumardjo dan Saini (1997 : 37) mengatakan bahwa cerita pendek adalah cerita atau parasi (bukan analisis argumentatif) yang fiktif (tidak benar-benar terjadi tetapi dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, serta relatif pendek).
Dari beberapa pendapat di atas penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan cerita pendek adalah karangan nasihat yang bersifat fiktif yang menceritakan suatu peristiwa dalam kehidupan pelakunya relatif singkat tetapi padat.
Ciri-ciri Cerita Pendek
Di atas penulis kemukakan bahwa masih banyak orang belum mengetahui ciri-ciri sebuah cerita pendek. Mengenai hal tersebut, di bawah ini penulis kemukakan ciri-ciri cerita pendek menurut pendapat Sumarjo dan Saini (1997 : 36) sebagai berikut.
Ceritanya pendek ;
  • Bersifat rekaan (fiction) ;
  • Bersifat naratif ; dan
  • Memiliki kesan tunggal.

Pendapat lain mengenai ciri-ciri cerita pendek di kemukakan pula oleh Lubis dalam Tarigan (1985 : 177) sebagai berikut.
  • Cerita Pendek harus mengandung interprestasi pengarang tentang konsepsinya mengenai kehidupan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
  • Dalam sebuah cerita pendek sebuah insiden yang terutama menguasai jalan cerita.
  • Cerita pendek harus mempunyai seorang yang menjadi pelaku atau tokoh utama.
  • Cerita pendek harus satu efek atau kesan yang menarik.

Menurut Morris dalam Tarigan (1985 : 177), ciri-ciri cerita pendek adalah sebagai berikut.
  • Ciri-ciri utama cerita pendek adalah singkat, padu, dan intensif (brevity, unity, and intensity).
  • Unsur-unsur cerita pendek adalah adegan, toko, dan gerak (scena, character, and action).
  • Bahasa cerita pendek harus tajam, sugestif, dan menarik perhatian (incicive, suggestive, and alert).

 contoh 1 : 
Cinta Seperti Buku Cerita
Orang-orang sering kali membicarakan keinginan mereka untuk jatuh cinta seperti di buku cerita - dan dalam hati aku tertawa. waktu aku masih kecil dan membaca dongeng atau menonton film-film tentang pangeran tampan, aku membayangkan jatuh cinta seperti itu. Keluargaku meyakinkan aku bahwa hal itu tak pernah terjadi dalam kehidupan sesungguhnya. Orangtuaku tidak ingin harapanku terlalu tinggi terhadap sesuatu yang mereka percaya bakal tak terjadi. Satu hal yang telah aku pelajari sepanjang waktu adalah bahwa orang tua tidak selalu benar.
Waktu aku duduk di kelas tujuh, aku pergi bermain ski bersama keluargaku pada liburan musim dingin. Di hotel aku ketemu cowok bernama Anthony. Kami bersama-sama hanya dua hari, tapi kami tidak terpisahkan. Kami menikmati kebersamaan kami dan kami punya banyak sekali kesamaan. Ketika tiba waktunya pulang, hatiku benar- benar hancur. Aku tahu kami bisa memiliki sesuatu yang istimewa jika diberi kesempatan; ada perasaan khusus di antara kami. Namun rumah Anthony dan rumahku jaraknya enam jam perjalanan, dan kami terlalu muda untuk bisa menyetir.
kami bertukar alamat, dan berjanji untuk terus berhubungan meskipun rasanya tidak mungkin kami akan pernah bertemu lagi.
Keluarga dan teman-temanku menyebutku tidak dewasa karena mengatakan aku kangen pada Anthony. Waktu aku senang sekali karena menerima surat darinya, mereka tertawa dan berkata padaku itu tak ada gunanya. Tak seorangpun mengerti bagaimana perasaanku. Aku tahu aku masih sangat belia, tapi aku tidak percaya ada batas umur untuk jatuh cinta. Suatu perasaan mengisi hatiku setiap kali aku memikirkan Anthoby. Orang tuaku mengatakan ini konyol, perasaan tergila-gila yang akan lenyap dengan sendirinya, namun mereka keliru.
Aku tidak percaya kata "tidak mungkin". Apapun bisa terjadi bila kau benar-benar menginginkannya. Selama bertahun-tahun, aku dan Anthony bersurat-suratan. Kami saling menelepon. Bersamaan dengan semakin bertambahnya usia kami, aku ladang-kadang berpikir aku takkan bertemu dengannya lagi. Surat-surat kami semakin jarang, dan kini teleponnya hanya datang sekali dalam beberapa bulan. Aku tak pernah memberi tahu Anthony bagaimana perasaanku kepadanya, karena semua orang selalu mencoba mengenyahkannya dengan mengatakan itu sama sekali takkan ada hasilnya.
Sekarang aku sudah duduk di kelas sebelas. Sudah empat tahun berlalu sejak aku pertama kali bertemu Anthony. kami nyaris mengetahui segala sesuatu tentang yang lain, dan, walaupun sudah bertahun-tahun tidak bertemu, perasaanku masih tetap sama. Satu-satunya perbedaan adalah aku kini sudah lebih dewasa dan lebih matang, dan aku bisa bertindak menuruti perasaanku.
Aku menerima sepucuk surat dari Anthony beberapa minggu lalu. Pada lembaran terakhir ia menulis,
Lori, kita sudah saling mengenal untuk waktu yang lama sekali. Aku tahu sudah bertahun-tahun aku tidak bertemu denganmu, dan mungkin ini kedengarannya tidak masuk akal, tetapi aku jatuh cinta kepadamu. Sejak kita bertemu tak satu haripun aku tidak memikirkan dirimu. Kau mengenalku lebih baik daripada aku mengenal diriku sendiri, dan aku harus bertemu denganmu lagi sebelum aku masuk college. Aku bisa membayangkan menghabiskan sisa hidupku bersamamu suatu hari nanti. Kedengarannya mungkin sinting, tetapi kaulah satu-satunya cewek yang bisa kubayangkan akan kuajak untuk membangun keluarga nantinya. Aku ingin kau datang ke pesta dansa sekolahku, dan aku ingin kau menginap selama akhir pekan supaya kau bisa menghadiri wisudaku. Ini adalah dua hari terpenting dalam kehidupan remajaku, dan aku ingin kau melewatkannya bersamaku.
Ini adalah kata-kata paling tulus yang pernah dikatakan seseorang kepadaku. Begitu banyak perasaan melintas dalam benakku. Bahkan ketika aku masih gadis kecil di kelas tujuh pun, aku sudah tahu perasaan bahwa aku dan Anthony saling memiliki akan tetap hidup dalam hatiku hari ini. Mungkin suatu hari nanti aku dan Anthony akan menikah. Atau mungkin kami hanya akan terus manjadi teman pena samopai kami tua nanti. Atau mungkin kami tidak akan berhubungan lagi dan hanya tinggal dalam kenangan. Yang kutahu hanyalah bahwa diriku telah diberi kehormatan untuk merasakan cinta seperti dibuku cerita, dan aku tidak akan pernah berhenti percaya pada takdir.
 contoh 2 :
Kabut Ibu
Dari kamar ibu yang tertutup melata kabut. Kabut itu berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan.
Awalnya, orang-orang mengira bahwa rumah kami tengah sesak dilalap api. Tapi kian waktu mereka kian bosan membicarakannya, karena mereka tak pernah melihat api sepercik pun menjilati rumah kami. Yang mereka lihat hanya asap tebal yang bergulung-gulung. Kabut. Pada akhirnya, mereka hanya akan saling berbisik, ”Begitulah rumah pengikut setan, rumah tanpa Tuhan, rumah itu pasti sudah dikutuk.”
***
Peristiwa itu terjadi berpuluh tahun silam, pada Oktober 1965 yang begitu merah. Seperti warna bendera bergambar senjata yang merebak dan dikibarkan sembunyi-sembunyi. Ketika itu, aku masih sepuluh tahun. Ayah meminta ibu dan aku untuk tetap tenang di kamar belakang. Ibu terus mendekapku ketika itu. Sayup-sayup, di ruang depan ayah tengah berbincang dengan beberapa orang. Entah apa yang mereka perbincangkan, tetapi sepertinya mereka serius sekali. Desing golok yang disarungkan pun terdengar tajam. Bahkan beberapa kali mereka meneriakkan nama Tuhan.
Beberapa saat kemudian ayah mendatangi kami yang tengah gemetaran di kamar belakang. Ayah meminta kami untuk segera pergi lewat pintu belakang. Ayah meminta kami untuk pergi ke rumah abah (bapak dari ayah) yang terletak di kota kecamatan, yang jaraknya tidak terlampau jauh.
Masih lekat dalam kepalaku, malam itu ibu menuntunku terburu-buru melewati jalan pematang yang licin. Cahaya bulan yang redup malam itu cukup menjadi lentera kami dari laknatnya malam. Beberapa kali aku terpeleset, kakiku menancap dalam kubang lumpur sawah yang becek dan dingin, hingga ibu terpaksa menggendongku. Sesampainya di rumah abah, ibu mengetuk pintu terburu-buru dan melemparkan diri di tikar rami. Napasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Abah mengambilkan segelas air putih untuk ibu, sebelum mengajakku tidur di kamarnya.
Malam itu, abah menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di sebelahku. Sementara, di luar riuh oleh teriakan-teriakan, suara kentungan, juga desing senjata api sesekali. Abah menyuruhku untuk segera memejamkan mata.
Subuh paginya, ketika suara azan terdengar bergetar, abah memanggil-manggil nama ibu sambil menelanjangi seluruh bilik. Abah panik karena ibu sudah tidak ada lagi di kamarnya.
Selepas duha, abah mengantarku pulang dengan kereta untanya. Ibumu pasti sudah pulang duluan, begitu kata abah.
Sesampainya di depan rumah, tiba-tiba abah menutup kedua mataku dengan telapak tangannya yang bau tembakau. Dari sela-sela jari abah aku bisa menilik kaca jendela dan pintu yang hancur berantakan, terdapat bercak merah di antara dinding dan teras. Warna merah yang teramat pekat, seperti darah yang mengering. Buru-buru abah memutar haluan, membawaku pulang kembali ke rumahnya. Dari kejauhan aku melihat lalu lalang orang di depan rumah kami yang kian mengecil dalam pandanganku. Orang-orang itu tampak terlunta-lunta mengangkat karung keranda.
”Mengapa kita tak jadi pulang, Bah?” tanyaku.
”Rumahmu masih kotor, biar dibersihkan dulu.” Abah tersengal-sengal mengayuh kereta untanya.
”Kotor kenapa, Bah?”
Abah terdiam beberapa jenak, ”Ya kotor, mungkin semalam banjir.”
”Banjir? Kan semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa?”
”Ya banjir.”
”Banjir darah ya, Bah, kok warnanya merah.”
”Hus!”
***
Berselang jam, pada hari yang sama, abah memintaku untuk tinggal sebentar di rumah. Aku tak boleh membuka pintu ataupun keluar rumah sebelum abah datang.
”Jangan ke mana-mana, abah mau bantu-bantu membersihkan rumahmu dulu, sekalian jemput ibumu.”
Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana, tapi hawa mencekam itu sampai kini masih membekas. Selagi abah pergi, aku hanya bisa mengintip keadaan di luar dari celah-celah dinding papan. Di luar sepi sekali. Sangat sepi. Kampung ini seperti kampung mati. Lama sekali abah tak kunjung datang. Jauh selepas ashar, baru kudengar decit rem kereta untanya di depan rumah. Aku mengempaskan napas lega. Menyongsong abah.
Abah tertatih merangkul ibu. Ibu hanya terdiam lunglai seperti boneka. Matanya kosong tanpa kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak karuan. Guritan matanya lebam menghitam.
Ketika kutanya abah ada apa dengan ibu, abah hanya menjawab singkat, bahwa ibu sedang sakit. Lalu aku bertanya lagi kepada abah, ayah mana? Dan abah tidak menjawab. Namun, beberapa waktu kemudian, dengan sangat perlahan, abah mulai menjelaskan bahwa hidup dan mati adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya akan didatangi kematian—lantaran mereka pernah hidup. Maka serta-merta aku paham dengan warna merah yang menggenang di teras rumah tadi pagi. Saat itu aku tak bisa menangis. Namun, dadaku sesak menahan ngeri.
***
Semenjak hari yang merah itulah ibu tak pernah sudi keluar kamar, apalagi keluar rumah. Ketika ibu kami paksa untuk menghirup udara luar, ia akan menjerit dan meronta tak karuan. Pada akhirnya, aku dan abah hanya bisa pasrah. Tampaknya ada sesuatu yang rusak dalam kepala ibu. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ibu seperti sudah tak peduli lagi pada dunia. Sepanjang hari pekerjaannya hanya diam, sesekali menggedor-gedor meja dan lemari, menghantam-hantamkan bantal ke dinding dan terdiam lagi.
Ibu memang benar-benar sakit. Makan dan minum harus kami yang mengantarkan ke kamarnya. Mandi pun harus kami yang menuntunnya. Berganti pakaian, menyisir rambut, melipat selimut, semua aku dan abah yang melakukannya. Hanya satu hal yang kami tidak mengerti: kamar ibu selalu berkabut.
Lelah sudah kami mengusir kabut-kabut itu dari sana. Kabut yang selalu muncul tiba-tiba. Kabut yang selalu mengepul, setelah kami menutup kembali pintu dan jendela, mengepul lagi dan lagi. Setelah kami tilik dengan saksama, baru kami menyadari sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari mata ibu. Sejauh ingatanku, ibu tak pernah menitiskan air mata. Namun dari matanya selalu mengepul kabut tebal yang tak pernah kami pahami muasalnya. Mungkinkah kabut itu berasal dari air mata yang menguap lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya. Entahlah.
***
Pada akhirnya, bagi kami, kabut ibu menjadi hal yang biasa. Kami hanya butuh membuka pintu dan jendela lebar-lebar untuk memecah kabut itu. Namun begitulah, semenjak kami menyadari keberadaan kabut itu, ibu tak lagi sudi membukakan pintu kamarnya untuk kami. Makanan dan minuman kami selipkan melewati jendela kaca luar. Namun sepertinya ia tak lagi peduli dengan makanan. Beberapa kali kami menemukan makanan yang kami selipkan membusuk di tempat yang sama. Tak tersentuh sama sekali. Ketika kami memanggil-manggil nama ibu, tak ada sahutan sama sekali dari dalam, kecuali kepulan kabut yang memudar dan pecah di depan mata kami.
Sementara, kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang terus mengental. Kami tak bisa melihat jelas ke dalamnya. Hingga suatu ketika, aku dan abah berinisiatif untuk mendobrak pintu kamar ibu. Kami benar-benar berniat melakukan itu. Kami benar-benar khawatir dengan keadaan ibu. Linggis dan congkel kami siapkan. Beberapa kali kami melemparkan hantaman. Pintu itu bergeming. Kami terus menghantamnya, mencongkelnya, mendobraknya, hingga pintu itu benar-benar rebah berdebam di tanah.
Aku dan abah mengibaskan kabut itu pelan-pelan. Membuka jendela lebar-lebar. Perlahan kami mendapati kabut itu memudar dan pecah. Beberapa saat kemudian kabut itu benar-benar lenyap. Namun kamar ibu menjadi sangat senyap. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada ranjang yang membatu, juga bantal selimut yang tertata rapi. Kami tidak melihat ibu di sana. Aneh, kami juga tidak melihat ibu berkelebat atau berlari keluar kamar. Yang kami saksikan dalam bilik itu hanya kabut yang kian menipis dan hilang.
Kami masih belum yakin ibu hilang. Berhari-hari kami mencari ibu sampai ke kantor kecamatan. Kami juga menyebarkan berita kehilangan sampai kantor polisi. Waktu melaju, berbilang pekan dan bulan, tapi ibu tak juga kami temukan. Hingga keganjilan itu muncul dari kamar ibu. Kabut itu. Kabut itu masih terus mengepul dari kamar ibu, entah dari mana muasalnya. Lambat laun kami berani menyimpulkan bahwa ibu tidak benar-benar hilang. Ibu masih ada di rumah ini, di kamarnya. Kabut itu, kabut itu buktinya. Kabut itu adalah kabut ibu. Kabut yang tak pernah ada kikisnya.
***
Akhirnya, aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat kamar ibu. Membiarkan kabut itu terus melata. Berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan. Kami tak perlu lagi memedulikan ocehan orang-orang yang mengatakan bahwa rumah kami adalah rumah setan, rumah tak bertuhan, rumah yang menanggung kutukan. Karena, kami yakin, tak lama lagi, kabut itu pun akan menelan rumah kami, sebagaimana ia menelan ibu.




sumber   :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Read More : http://fathuraksal.blogspot.com/2012/05/cara-membuat-tombol-next-page-pada-blog.html#ixzz21ndgEojy