Pada
awal abad ke XVII, untuk beberapa waktu lamanya, Aceh muncul sebagai
Negara yang paling kuat, makmur dan beradab di kawasan tersebut. Saat
kedatangan orang-orang Portugis di Malaka, Di seberang selat tersebut, Aceh
sedang tumbuh sebagai Negara yang kuat. Sultan pertama kerajaan yang
sedang tumbuh ini adalah Ali Mughayat Syah (m. 1514-30). Selama masa
pemerintahannya, sebagian besar komunitas dagang Asia yang bubar karena
direbutnya Malaka oleh Portugis menetap di Aceh.
Pada
tahun 1520, Ali Mughayat Syah memulai serangan-serangannya. Pada tahun itu dia
berhasil merebut daya yang terletak di pantai barat Sumatera di bagian utara.
Pada tahun 1524, dia merebut Pedir dan Pasaisetelah berhasil mengusir Portugis.
Stelah itu menyerang Aru dimana selanjutnya daerah tersebut menjadi medan
perang antara Aceh dan Johor, dan baru pada tahun 1613 akhirnya Sultan Iskandar
Muda dari Aceh merebut daerah itu.
Putra
tertua Ali Mughayat Syah yang menjadi penggantinya Salahuddin , dianggap
seorang penguas yang lebih lemah. Pada tahun 1537, suatu serangan yang
dilancarkan oleh pihak Aceh mengalami kegagalan dan kira-kira pada masa itulah
Salahuddin diturunkan melalui sebuah kudeta.
Sultan
Alauddin Riayat Syah al-Kahar adalah salah satu dari prajurit-prahurit Aceh
yang terbesar. Dia dipercayai telah menyerang rakyat batak di sebelah selatan
Aceh pada tahun 1539 setelah penguasa daerah itu menolak memeluk agama Islam.
Sebenarnya beralihnya kelompok-kelompok masyarakat batak ke dalam agama Islam
dan Kristen dimulai pada abad XIX. Sesudah itu dia menyerang Aru, tetapi
berhasil dipukul mundur oleh kerajaan Johor , dan Johor menguasai Aru selama 24
tahun berikutnya. Alauddin al-kahar dikenang dalam tradisi Aceh bukan hanya
sebagai raja pejuang saja, melainkan juga sebagai penguasa yang melembagakan
pembagian masyarakat Aceh menjadi kelompok-kelompok garis keturunan adminstrasi
(kaum atau sukee).
Pada
awal abad ke XVII, penguasa yang terbesar diantara penguasa-penguasa Aceh
mendudki singgasana. Dalam waktu singkat, Sultan Iskandar Muda (1607-36)
membentuk Aceh sebagai Negara yang paling kuat di Nusantara bagian barat. Dia
mampu mengendalikan kalangan elit Aceh (orang kuat) yang memberikan dukungan
kepadanya. Dia juga menciptakan suatu kelompok bangsawan baru yang terdiri atas
para ‘panglima perang’ (dalam bahasa melayu Hulubalang dan dalam bahasa Aceh
uleebalang); mereka menguasai daerah-daerah berdasarkan hak milik feodal.
Setelah Iskandar Muda, tahta di Aceh digantikan oleh menantunya selanjutnya
tahta pun dipegang oleh Seorang wanita dengan gelar Taj ul-Alam (m. 1641-75),
dan mengadakan perjanjian dengan Johor yang menyebutkan mulai saat itu
masing-masing pihak akan memikirkan urusannya sendiri. Mulai saat itu, Johor
berkembang menjadi Negara yang sangat makmur dan mempunyai pengaruh sangat
besar, karena pada tahun 1641 bukan hanya ancaman dari Aceh saja yang hilang,
melainkan juga Portugis berhasil diusir dari Johor dan VOC dari Malaka.
Aceh
memasuki masa perpecahan di dalam negeri yang panjang, dan Negara ini tidak
lagi menjadi kekuatan yang penting di luar ujung Sumatera. Empat orang ratu memerintah
negeri ini antara tahun 1641 dan 1699, dan kekuasaan raja mulai terbatas
hanya di ibu kota Negara saja. Para uleebalang berubah menjadi penguasa yang
turun-temurun di wilayah-wilayah yang terpencil, dan para pemimpin keagamaan
(Imam atau Ulama) muncul sebagai sebuah kekuatan yang menjanjikan. Kesultanan
menjadi sebuah lembaga simbolis yang lemah. Sejak tahun 1699 hingga 1838,
Negara ini diperintah oleh sebelas orang sultan yang hamper tidak berarti sama
sekali, termasuk tiga orang berkebangsaan Arab (1699-1726), dua orang Melayu
(keduanya memerintah dalam tahun 1726), dan enam orang Bugis (1727-1838).
Tahun
1873 pada masa pemerintahan Sulthan Alaidin Mahmud Syah Kerajaan ini dinyatakan
perang oleh negara sahabatnya dulu yakni Netherland setelah terjadi tawar
menawar kepentingan melalui surat diplomasi yang berakhir penyerangan hingga
menyebabkan tewasnya panglima Perang Netherland yaitu Major Jenderal J.H.R
Kohler tanggal 14 April 1873.
Namun
kegagalan ini membuat Belanda Berang, akhirnya Penyerangan kedua pun dimulai
dengan kesuksesan besar sehingga Bandar Aceh Darussalam dibumi hanguskan.Dengan
semangat yang masih membara dan kepintaran yang sangat luar biasa dalam
mengatur pemerintahan Sulthan Alaidin Mahmud Syah memindahkan Ibukota Kerajaan
hingga mengalahkan pernyataan BELANDA yang mengatakan TELAH MENGUASAI IBUKOTA
KERAJAAN ISLAM ACEH DARUSSALAM.Sikap ketamakan dan kebencian serta kelicikan
Belanda, Sulthan ini berhasil dibunuh dengan disebarnya wabah Kolera.Setelah
Sulthan Alaidin Mahmud Syah meninggal karena wabah kolera, dengan semangat
Kedaulatan yang tinggi para Mufti kerajaan dan Pembesar kerajaan lainnya
Mengangkat Tuanku Muhammad Daud bin Tuanku Zainal Abizin sebagai Sulthan Aceh
yang bergelar Sulthan Alaidin Muhammad Daud Syah. Namun karena Sulthan masih
kecil, akhirnya para pembesar Kerajaan menunjukkan Tuanku Hasyim Banta Muda
Sebagai Pemangku Sulthan.Perjuangan untuk tetap berdaulat membuat para petinggi
Kerajaan dan Prajurit kerajaan Aceh harus bergerilya berperang mengusir
Penjajah Negara Islam Aceh yaitu Belanda hingga akhirnya Sulthan Alaidin
Muhammad Daud Syah memindahkan Ibukota Kerajaan ke Keumala Dalam.Di Keumala
Dalam inilah Sulthan Muhammad Daud Syah mengatur Pemerintahan dan mengangkat
Tgk Chiek Muhammad Saman di Tiro sebagai wazir Sulthan Kerajaan Aceh
Darussalam, urusan Perang Sabil tahun 1883 setelah diputuskan dalam Musyawarah
Besar para Petinggi kerajaan di Keumala Dalam hingga akhirnya Tgk Chiek
Muhammad Saman di Tiro meninggal tahun 1891 karena diracuni oleh janda yang telah
diupah oleh Belanda. Sepeninggalan Tgk Chiek Muhammad Saman, Pemimpin Perang
Sabil dengan persetujuan Sulthan dipegang oleh “Tgk. Chik Di Tiro Muhammad
Amin” dan setelah Tgk. Di Tiro Muhammad Amin Syahid di Aneuk galong pada tahun
1896, pucuk pimpinan Perang Sabil di pegang oleh Tgk. Chik Di Tiro Mahidin yang
terus bergrilya dipegunungan sekitar Tangse.
Pada
saat Sulthan Muhammad Daudsyah, terpaksa menyerahkan diri 1903 karena
disanderanya Permaisuri dan putera Mahkota yaitu Tuanku Raja Ibrahim, pimpinan
Kesulthanan Aceh diamanahkan kepada Panglima Polim dan Teungku Chik Di Tiro
Mahidin, kemudian setelah Teuku Panglima Polim terpaksa menyerahkan diri pula
seperti kasus yang dialami oleh Sulthan, karena di sandera keluarganya,
kekuasaan pengendalian Kesulthanan Aceh dalam perjuangan, berada dalam tangan
Tgk. Di Tiro Mahidin. Kekuasaan tersebut dipegangnya sampai beliau syahid pada
tahun 1910 di Gunung Halimun tangse. Mayat Tgk. Chik Di Tiro Mahidin
dikebumikan di komplek pemakaman keluarga besar Teuku Itam Tangse yang terletak
di komplek Mesjid I Tangse.Sulthan Muhammad Daud Syah yang telah menyerahkan
diri akhirnya diasingkan ke Batavia dan sempat pula diasingkan ke Ambon dan
akhirnya diasingkan kembali ke Batavia hingga beliau meninggal tahun 1939 di Jakarta.Sulthan
Muhammad Daud Syah mempunyai seorang anak dari Istrinya "teungku Putroe
Gamboe Gadeng" yaitu Tuanku Raja Ibrahim dan beberapa anak dari istrinya
Hj. Neng Effi yang dari Banten.Tuanku Raja Ibrahim merupakan Putera tertua dari
Sulthan Muhammad Daud Syah, Tuanku ini juga pernah diasingkan oleh Belanda
bersama dengan Ayahanda dan Ibundanya ke Batavia hingga akhirnya beliau pulang
kembali ke Aceh tahun 1937. Sampai tahun 1960 Tuanku Raja Ibrahim menjabat
Mantri Tani di Sigli dan sempat diberikan rumah untuk tinggal sementara oleh
Pemerintah Republik Indonesia dengan syarat dikembalikan sepeninggalnya beliau.
1
maret 1982, sang Putera mahkota ini meninggal Dunia dan dikebumikan di
BAPERIS.Sang Putera Mahkota ini juga mempunyai keturunan 16 orang putera-puteri
dari beberapa istrinya.Putera-puteri dari Putera Mahkota saat ini yang masih
hidup hanya tinggal 10 orang diantaranya :
1.
Teungku Putroe Safiatuddin Cahya Nur Alam, menetap di Mataram (Lombok)
2.
TP Sariawan di Geuceu
3.
TP Sukmawati di Merduati
4.
TR Yusuf di Lam Pineueng
ketiganya
menetap di Banda Aceh
5.
TP Rangganis, beliau saat ini menetap di TangseKab. Pidie
6.
TR Sulaiman
7.
TR Ishak Badruzzaman
keduanya
menetap di LAmlo kec. Sakti Kab. Pidie
8.
TR Daud
9.
TR Syamsuddin
keduanya
menetap di Lhoksumawe
10.
TP Gambar Gading, menetap di Sabang
10
orang ini merupakan anak dari tuanku Raja Ibrahim dan merupakan cucu dari
Sulthan Alaiddin Muhammad Daud Syah.selain 10 orang ini, sebenarnya masih ada
cucu Sulthan Muhammad Daud Syah yang dari Istri beliau yang dari Banten yaitu
Hj Neng Effi. Namun karena ketidakpedulian dan ketidak ingin tahuan kita
seakan-akan hanya 10 orang inilah yang ada.kesepuluh dari cucu Sulthan Muhammad
Daud Syah ini pun mempunyai keturunan juga. Namun tentang keberadaan keturunan
yang Mulia inipun terkesan ditutupi...w'allahu a'lam.
Kerajaan Aceh
1. SejarahKerajaan Aceh berdiri menjelang keruntuhan Samudera Pasai. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tahun 1360 M, Samudera Pasai ditaklukkan oleh Majaphit, dan sejak saat itu, kerajaan Pasai terus mengalami kemunduran. Diperkirakan, menjelang berakhirnya abad ke-14 M, kerajaan Aceh Darussalam telah berdiri dengan penguasa pertama Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H (1511 M) . Pada tahun 1524 M, Mughayat Syah berhasil menaklukkan Pasai, dan sejak saat itu, menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut. Bisa dikatakan bahwa, sebenarnya kerajaan Aceh ini merupakan kelanjutan dari Samudera Pasai untuk membangkitkan dan meraih kembali kegemilangan kebudayaan Aceh yang pernah dicapai sebelumnya.
Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naih tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.
Sejarah mencatat bahwa, usaha Mughayat Syah untuk mengusir Portugis dari seluruh bumi Aceh dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah berada di bawah Portugis berjalan lancar. Secara berurutan, Portugis yang berada di daerah Daya ia gempur dan berhasil ia kalahkan. Ketika Portugis mundur ke Pidie, Mughayat juga menggempur Pidie, sehingga Portugis terpaksa mundur ke Pasai. Mughayat kemudian melanjutkan gempurannya dan berhasil merebut benteng Portugis di Pasai.
Kemenangan yang berturut-turut ini membawa keuntungan yang luar biasa, terutama dari aspek persenjataan. Portugis yang kewalahan menghadapi serangan Aceh banyak meninggalkan persenjataan, karena memang tidak sempat mereka bawa dalam gerak mundur pasukan. Senjata-senjata inilah yang digunakan kembali oleh pasukan Mughayat untuk menggempur Portugis.
Ketika benteng di Pasai telah dikuasai Aceh, Portugis mundur ke Peurelak. Namun, Mughayat Syah tidak memberikan kesempatan sama sekali pada Portugis. Peurelak kemudian juga diserang, sehingga Portugis mundur ke Aru. Tak berapa lama, Aru juga berhasil direbut oleh Aceh hingga akhirnya Portugis mundur ke Malaka. Dengan kekuatan besar, Aceh kemudian melanjutkan serangan untuk mengejar Portugis ke Malaka dan Malaka berhasil direbut. Portugis melarikan diri ke Goa, India. Seiring dengan itu, Aceh melanjutkan ekspansinya dengan menaklukkan Johor, Pahang dan Pattani. Dengan keberhasilan serangan ini, wilayah kerajaan Aceh Darussalam mencakup hampir separuh wilayah pulau Sumatera, sebagian Semenanjung Malaya hingga Pattani.
Demikianlah, walaupun masa kepemimpinan Mughayat Syah relatif singkat, hanya sampai tahun 1528 M, namun ia berhasil membangun kerajaan Aceh yang besar dan kokoh. Ali Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri kerajaan Aceh Darussalam, yaitu: (1) mencukupi kebutuhan sendiri, sehingga tidak bergantung pada pihak luar; (2) menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara; (3) bersikap waspada terhadap negara kolonial Barat; (4) menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar; (5) menjalankan dakwah Islam ke seluruh kawasan nusantara. Sepeninggal Mughayat Syah, dasar-dasar kebijakan politik ini tetap dijalankan oleh penggantinya.
Dalam sejarahnya, Aceh Darussalam mencapai masa kejayaan di masa Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1590-1636). Pada masa itu, Aceh merupakan salah satu pusat perdagangan yang sangat ramai di Asia Tenggara. Kerajaan Aceh pada masa itu juga memiliki hubungan diplomatik dengan dinasti Usmani di Turki, Inggris dan Belanda. Pada masa Iskandar Muda, Aceh pernah mengirim utusan ke Turki Usmani dengan membawa hadiah. Kunjungan ini diterima oleh Khalifah Turki Usmani dan ia mengirim hadiah balasan berupa sebuah meriam dan penasehat militer untuk membantu memperkuat angkatan perang Aceh.
Hubungan dengan Perancis juga terjalin dengan baik. Pada masa itu, Perancis pernah mengirim utusannya ke Aceh dengan membawa hadiah sebuah cermin yang sangat berharga. Namun, cermin ini ternyata pecah dalam perjalanan menuju Aceh. Hadiah cermin ini tampaknya berkaitan dengan kegemaran Sultan Iskandar Muda pada benda-benda berharga. Saat itu, Iskandar Muda merupakan satu-satunya raja Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen (Aula Kaca) di istananya yang megah, Istana Dalam Darud Dunya. Konon, menurut utusan Perancis tersebut, luas istana Aceh saat itu tak kurang dari dua kilometer. Di dalam istana tersebut, juga terdapat ruang besar yang disebut Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah, dan aliran sungai Krueng yang telah dipindahkan dari lokasi asal alirannya.
Sebelum Iskandar Muda berkuasa, sebenarnya juga telah terjalin hubungan baik dengan Ratu Elizabeth I dan penggantinya, Raja James dari Inggris. Bahkan, Ratu Elizabeth pernah mengirim utusannya, Sir James Lancaster dengan membawa seperangkat perhiasan bernilai tinggi dan surat untuk meminta izin agar Inggris diperbolehkan berlabuh dan berdagang di Aceh. Sultan Aceh menjawab positif permintaan itu dan membalasnya dengan mengirim seperangkat hadiah, disertai surat yang ditulis dengan tinta emas. Sir James Lancaster sebagai pembawa pesan juga dianugerahi gelar Orang Kaya Putih sebagai penghormatan. Berikut ini cuplikan surat Sulta Aceh pada Ratu Inggris bertarikh 1585 M:
I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.
(Hambalah Sang Penguasa Perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh, tanah Sumatera dan seluruh wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).
Ketika Raja James berkuasa di Inggris, ia pernah mengirim sebuah meriam sebagai hadiah kepada sultan Aceh. Hubungan ini memburuk pada abad ke 18, karena nafsu imperialisme Inggris untuk menguasai kawasan Asia Tenggara. Selain itu, Aceh juga pernah mengirim utusan yang dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid ke Belanda, di masa kekuasaan Pangeran Maurits, pendiri dinasti Oranye. Dalam kunjungan tersebut, Abdul Hamid meninggal dunia dan dimakamkan di pekarangan sebuah gereja dengan penuh penghormatan, dihadiri oleh para pembesar Belanda. Saat ini, di makam tersebut terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Pangeran Bernhard, suami Ratu Juliana.
Ketika Iskandar Muda meninggal dunia tahun 1636 M, yang naik sebagai penggantinya adalah Sultan Iskandar Thani Ala‘ al-Din Mughayat Syah (1636-1641M). Di masa kekuasaan Iskandar Thani, Aceh masih berhasil mempertahankan masa kejayaannya. Penerus berikutnya adalah Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675 M), putri Iskandar Muda dan permaisuri Iskandar Thani. Hingga tahun 1699 M, Aceh secara berturut-turut dipimpin oleh empat orang ratu. Di masa ini, kerajaan Aceh sudah mulai memasuki era kemundurannya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya konflik internal di Aceh, yang disebabkan penolakan para ulama Wujudiyah terhadap pemimpin perempuan. Para ulama Wujudiyah saat itu berpandangan bahwa, hukum Islam tidak membolehkan seorang perempuan menjadi pemimpin bagi laki-laki. Kemudian terjadi konspirasi antara para hartawan dan uleebalang, dan dijustifikasi oleh pendapat para ulama yang akhirnya berhasil memakzulkan Ratu Kamalat Syah. Sejak saat itu, berakhirlah era sultanah di Aceh.
Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai terlibat konflik dengan Belanda dan Inggris yang memuncak pada abad ke-19. Pada akhir abad ke-18 tersebut, wilayah kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau Pinang dirampas oleh Inggris. Pada tahun 1871 M, Belanda mulai mengancam Aceh atas restu dari Inggris, dan pada 26 Maret 1873 M, Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut, Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada tahun 1883, 1892 dan 1893 M, perang kembali meletus, namun, lagi-lagi Belanda gagal merebaut Aceh. Pada saat itu, Belanda sebenarnya telah putus asa untuk merebut Aceh, hingga akhirnya, Snouck Hurgronye, seorang sarjana dari Universitas Leiden, menyarankan kepada pemerintahnya agar mengubah fokus serangan, dari sultan ke ulama. Menurutnya, tulang punggung perlawanan rakyat Aceh adalah para ulama, bukan sultan. Oleh sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka serangan harus diarahkan kepada para ulama. Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah Belanda dengan menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah yang dibakar Belanda.
Saran Snouck Hurgronye membuahkan hasil: Belanda akhirnya sukses menaklukkan Aceh. J.B. van Heutsz, sang panglima militer, kemudian diangkat sebagai gubernur Aceh. Pada tahun 1903, kerajaan Aceh berakhir seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud kepada Belanda. Pada tahun 1904, hampir seluruh Aceh telah direbut oleh Belanda. Walaupun demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya pada Belanda. Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh masyarakat tetap berlangsung. Sebagai catatan, selama perang Aceh, Belanda telah kehilangan empat orang jenderalnya yaitu: Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel, Demmeni dan Jenderal J.J.K. De Moulin.
Kekuasaan Belanda berlangsung hampir setengah abad, dan berakhir seiring dengan masuknya Jepang ke Aceh pada 9 Februari 1942. Saat itu, kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Hubungan baik dengan Jepang tidak berlangsung lama. Ketika Jepang mulai melakukan pelecehan terhadap perempuan Aceh dan memaksa masyarakat untuk membungkuk pada matahari terbit, maka, saat itu pula mulai timbul perlawanan. Di antara tokoh yang dikenal gigih melawan Jepang adalah Teungku Abdul Jalil. Kekuasaan para penjajah berakhir ketika Indonesia merdeka dan Aceh bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
2. Silsilah
Berikut ini daftar para sultan yang pernah berkuasa di kerajaan Aceh Darussalam:
1. Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M)
2. Sultan Salahuddin (1528-1537).
3. Sultan Ala‘ al-Din al-Kahhar (1537-1568).
4. Sultan Husein Ali Riayat Syah (1568-1575)
5. Sultan Muda (1575)
6. Sultan Sri Alam (1575-1576).
7. Sultan Zain al-Abidin (1576-1577).
8. Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589)
9. Sultan Buyong (1589-1596)
10. Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604).
11. Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636).
13. Iskandar Thani (1636-1641).
14. Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675).
15. Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678)
16. Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
17. Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699)
18. Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21. Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22. Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sultan Ala‘ al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
24. Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah (1735-1760)
25. Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sultan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sultan Sulaiman Syah (1785-…)
28. Alauddin Muhammad Daud Syah.
29. Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815) dan (1818-1824)
30. Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31. Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
32. Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
33. Sultan Mansur Syah (1857-1870)
34. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
35. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
Catatan: Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (sultan ke-29) berkuasa pada dua periode yang berbeda, diselingi oleh periode Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818).
3. Periode Pemerintahan
Kerajaan Aceh Darussalam berdiri sejak akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-20 M. Dalam rentang masa empat abad tersebut, telah berkuasa 35 orang sultan dan sultanah.
4. Wilayah kekuasaan
Di masa kejayaannya, wilayah kerajaan Aceh Darussalam mencakup sebagian pulau Sumatera, sebagian Semenanjung Malaya dan Pattani.
5. Struktur pemerintahan
Pada masa Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589) berkuasa, kerajaan Aceh sudah memiliki undang-undang yang terangkum dalam kitab Kanun Syarak Kerajaan Aceh. Undang-undang ini berbasis pada al-Quran dan hadits yang mengikat seluruh rakyat dan bangsa Aceh. Di dalamnya, terkandung berbagai aturan mengenai kehidupan bangsa Aceh, termasuk syarat-syarat pemilihan pegawai kerajaan. Namun, fakta sejarah menunjukkan bahwa, walaupun Aceh telah memiliki undang-undang, ternyata belum cukup untuk menjadikannya sebagai sebuah kerajaan konstitusional.
Dalam struktur pemerintahan Aceh, sultan merupakan penguasa tertinggi yang membawahi jabatan struktural lainnya. Di antara jabatan struktural lainnya adalah uleebalang yang mengepalai unit pemerintahan nanggroe (negeri), panglima sagoe (panglima sagi) yang memimpin unit pemerintahan Sagi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintahan mukim yang terdiri dari beberapa gampong, dan keuchiek atau geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan gampong (kampung). Jabatan struktural ini mengurus masalah keduniaan (sekuler). Sedangkan pemimpin yang mengurus masalah keagamaan adalah tengku meunasah, imam mukim, kadli dan para teungku.
6. Kehidupan Sosial Budaya
a. agama
Dalam sejarah nasional Indonesia, Aceh sering disebut sebagai Negeri Serambi Mekah, karena Islam masuk pertama kali ke Indonesia melalui kawasan paling barat pulau Sumatera ini. Sesuai dengan namanya, Serambi Mekah, orang Aceh mayoritas beragama Islam dan kehidupan mereka sehari-hari sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam ini. Oleh sebab itu, para ulama merupakan salah satu sendi kehidupan masyarakat Aceh. Selain dalam keluarga, pusat penyebaran dan pendidikan agama Islam berlangsung di dayah dan rangkang (sekolah agama). Guru yang memimpin pendidikan dan pengajaran di dayah disebut dengan teungku. Jika ilmunya sudah cukup dalam, maka para teungku tersebut mendapat gelar baru sebagai Teungku Chiek. Di kampung-kampung, urusan keagamaan masyarakat dipimpin oleh seseorang yang disebut dengan tengku meunasah.
Pengaruh Islam yang sangat kuat juga tampak dalam aspek bahasa dan sastra Aceh. Manuskrip-manuskrip terkenal peninggalan Islam di Nusantara banyak di antaranya yang berasal dari Aceh, seperti Bustanussalatin dan Tibyan fi Ma‘rifatil Adyan karangan Nuruddin ar-Raniri pada awal abad ke-17; kitab Tarjuman al-Mustafid yang merupakan tafsir Al Quran Melayu pertama karya Shaikh Abdurrauf Singkel tahun 1670-an; dan Tajussalatin karya Hamzah Fansuri. Peninggalan manuskrip tersebut merupakan bukti bahwa, Aceh sangat berperan dalam pembentukan tradisi intelektual Islam di Nusantara. Karya sastra lainnya, seperti Hikayat Prang Sabi, Hikayat Malem Diwa, Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, merupakan bukti lain kuatnya pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh.
b. Struktur sosial
Lapisan sosial masyarakat Aceh berbasis pada jabatan struktural, kualitas keagamaan dan kepemilikan harta benda. Mereka yang menduduki jabatan struktural di kerajaan menduduki lapisan sosial tersendiri, lapisan teratasnya adalah sultan, dibawahnya ada para penguasa daerah. Sedangkan lapisan berbasis keagamaan merupakan lapisan yang merujuk pada status dan peran yang dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan keagamaan. Dalam lapisan ini, juga terdapat kelompok yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad. Mereka ini menempati posisi istimewa dalam kehidupan sehari-hari, yang laki-laki bergelar Sayyed, dan yang perempuan bergelar Syarifah. Lapisan sosial lainnya dan memegang peranan sangat penting adalah para orang kaya yang menguasai perdagangan, saat itu komoditasnya adalah rempah-rempah, dan yang terpenting adalah lada.
c. Kehidupan sehari-hari
Sebagai tempat tinggal sehari-hari, orang Aceh membangun rumah yang sering disebut juga dengan rumoh Aceh. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, mereka bercocok tanam di lahan yang memang tersedia luas di Aceh. Bagi yang tinggal di kawasan kota pesisir, banyak juga yang berprofesi sebagai pedagang. Senjata tradisional orang Aceh yang paling terkenal adalah rencong, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat dari dekat menyerupai tulisan kaligrafi bismillah. Senjata khas lainnya adalah Sikin Panyang, Klewang dan Peudeung oon Teubee.
0 komentar:
Posting Komentar